PENGERTIAN HARI SUCI
Hari suci adalah hari yang khusus,
karena di hari-hari suci tersebut para Dewa Beryoga untuk menyucikan alam
semesta beserta isinya. Hari-hari suci diyakini oleh umat Hindu sebagai hari
yang sangat baik untuk melakukan Yadnya. Beryadnya pada
hari raya suci nilainya sangat utama jika dibandingkan dengan hari-hari biasa.
Hari suci dikenal dengan istilah Hari Raya. Karena pada
hari tersebut diperingati dan dirayakan dengan acara khusus. Hari raya atau
hari suci di Bali sering di sebut dalam bahasa balinya "Rahinan".
Jadi, hari suci adalah hari yang disucikan dan
dikeramatkan yang datangnya berdasarkan Wariga dan Pedewasan. wariga atau
dewasa bersumber dari kitab suci Weda khususnya pada bagian Jyotisa. Hari suci adalah hari yang di
peringati atau diistimewakan, berdasarkan keyakinan bahwa hari itu mempunyai
makna dan fungsi yang penting bagi kehidupan seorang atau masyarakat baik karna
pengaruhnya, maupun karna nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Berdasarkan kitab
suci maupun pengalaman tradisional, hari itu memberikan pengaruh terhadap
kehidupan tingkat kesadaran manusia itu sendiri yang menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Pada hakekatnya semua agama memiliki hari suci atau hari-hari besar keagamaan.
Demikian pula agama Hindu banyak sekali mempunyai hari-hari suci keagamaan,
seperti hari raya nyepi, galungan, kuningan, saraswati, siwaratri, dan yang
lainya. Hari -hari suci bagi umat hindu merupakan hari yang sangat baik untuk
melakukan pemjaan kehadapan Hyang Widhi / Tuhan Yang Maha Esa, beserta segala
mani festasi-Nya. Olehkarna itu pada hari tersebut merupakan hari yang baik
untuk melaksanakan yadnya.
Untuk menentukan hari-hari suci didasarkan atas perhitungan
wewaran, pawukon, tanggal panglong, dan sasih. Hal ini banyak dijelaskan dalam
wariga, yaitu pedoman untuk menccari ala-ayuning (baik-buruk) hari atau dewasa.
Hari suci disebut pula dengan istilah Hari Raya karena hari tersebut
diperingati dan dirayakan dengan acara khusus dan istimewa oleh umat Hindu
dengan penuh khidmat. hari suci di Bali disebut “Rahinan”.
Hari Raya keagamaan bagi umat Hindu dibedakan menjadi dua
macam yaitu:
1. Berdasarkan atas perhitungan sasih (Pranata Masa),
seperti hari raya Nyepi dan hari raya Siwalatri.
2. Berdasarkan pawukon (Wuku), yaitu: hari raya Galungan,
hari raya Kuningan, hari raya Saraswati dan hari raya Pagerwesi.
Kemudian secara mengkhusus ada lagi hari raya keagamaan yang
berdasarkan Pawukon (Wuku) yang dibedakan menjadi empat kelompok besar
diantaranya:
1. Budha Kliwon
2. Tumpek
3. Budha Wage/ budha Cemeng
4. Anggara Kasih
Untuk memahami rangkaian pelaksanaan hari suci, terlebih
dahulu harus mengetahui dan hafal dengan nama- nama Sasih dalam tahun Saka,
hafal nama-nama Wewaran dan nama- nama Wuku.
Rangkaian
Upacara Hari Raya Galungan dan Kuningan
Berikut rangkaian
upacara dari Hari Raya Galungandan Kuningan yang dipaparkan oleh: Bhagawan
Dwija.
TUMPEK WARIGA
Jatuh pada hari Saniscara, Kliwon, Wuku Wariga, atau 25 hari
sebelum Galungan. Upacara ngerasakin dan ngatagin dilaksanakan untuk memuja
Bhatara Sangkara, manifestasi Hyang Widhi, memohon kesuburan tanaman yang
berguna bagi kehidupan manusia.
ANGGARA KASIH JULUNGWANGI
Hari Anggara, Kliwon, Wuku Julungwangi atau 15 hari sebelum
Galungan. Upacara memberi lelabaan kepada watek Butha dengan mecaru alit di
Sanggah pamerajan dan Pura, serta mengadakan pembersihan area menjelang tibanya
hari Galungan.
BUDA PON SUNGSANG
Hari Buda, Pon, Wuku Sungsang atau 7 hari sebelum Galungan.
Disebut pula sebagai hari Sugian Pengenten yaitu mulainya Nguncal Balung.
Nguncal artinya melepas atau membuang, balung artinya tulang; secara filosofis
berarti melepas atau membuang segala kekuatan yang bersifat negatif (adharma). Oleh
karena itu disebut juga sebagai Sugian Pengenten, artinya ngentenin
(mengingatkan) agar manusia selalu waspada pada godaan-godaan adharma. Pada
masa nguncal balung yang berlangsung selama 42 hari (sampai Buda Kliwon Paang)
adalah dewasa tidak baik untuk: membangun rumah, tempat suci, membeli ternak
peliharaan, dan pawiwahan.
SUGIAN JAWA
Hari Wraspati, Wage, Wuku Sungsang, atau 6 hari sebelum
Galungan. Memuja Hyang Widhi di Pura, Sanggah Pamerajan dengan Banten
pereresik, punjung, canang burat wangi, canang raka, memohon kesucian dan
kelestarian Bhuwana Agung (alam semesta).
SUGIAN BALI
Hari Sukra, Kliwon, Wuku Sungsang, atau 5 hari sebelum
Galungan. Memuja Hyang Widhi di Pura, Sanggah Pamerajan dengan Banten
pereresik, punjung, canang burat wangi, canang raka, memohon kesucian, dan
keselamatan Bhuwana Alit (diri sendiri).
PENYEKEBAN
Hari Redite, Paing, Wuku Dungulan, atau 3 hari sebelum
Galungan. Turunnya Sang Bhuta Galungan yang menggoda manusia untuk berbuat
adharma. Galung dalam Bahasa Kawi artinya perang; Bhuta Galungan adalah sifat
manusia yang ingin berperang atau berkelahi.Manusia agar menguatkan diri dengan
memuja Bhatara Siwa agar dijauhkan dari sifat yang tidak baik itu. Secara
simbolis Ibu-ibu memeram buah-buahan dan membuat tape artinya nyekeb
(mengungkung/ menguatkan diri).
PENYAJAAN
Hari Soma, Pon, Wuku Dungulan, atau 2 hari sebelum Galungan.
Turunnya Sang Bhuta Dungulan yang menggoda manusia lebih kuat lagi untuk
berbuat adharma. Dungul dalam Bahasa Kawi artinya takluk; Bhuta Dungulan adalah
sifat manusia yang ingin menaklukkan sesama atau sifat ingin menang.Manusia
agar lebih menguatkan diri memuja Bhatara Siwa agar terhindar dari sifat buruk
itu. Secara simbolis membuat jaja artinya nyajaang (bersungguh-sungguh membuang
sifat dungul).
PENAMPAHAN
Hari Anggara, Wage, Wuku Dungulan, atau 1 hari sebelum
Galungan. Turunnya Sang Bhuta Amangkurat yang menggoda manusia lebih-lebih kuat
lagi untuk berbuat adharma. Amangkurat dalam Bahasa Kawi artinya berkuasa.
Bhuta Amangkurat adalah sifat manusia yang ingin berkuasa. Manusia agar
menuntaskan melawan godaan ini dengan memuja Bhatara Siwa serta mengalahkan
kekuatan Sang Bhuta Tiga (Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, dan Bhuta
Amangkurat). Secara simbolis memotong babi “nampah celeng” artinya “nampa” atau
bersiap menerima kedatangan Sanghyang Dharma. Babi dikenal sebagai simbol tamas
(malas) sehingga membunuh babi juga dapat diartikan sebagai menghilangkan
sifat-sifat malas manusia. Sore hari ditancapkanlah penjor lengkap dengan
sarana banten pejati yang mengandung simbol “nyujatiang kayun” dan memuja Hyang
Maha Meru (bentuk bambu yang melengkung) atas anugerah-Nya berupa kekuatan
dharma yang dituangkan dalam Catur Weda di mana masing-masing Weda disimbolkan
dalam hiasan penjor sebagai berikut:
- lamak
simbol Reg Weda,
- bakang-bakang
simbol Atarwa Weda,
- tamiang
simbol Sama Weda, dan
- sampian
simbol Yayur Weda.
Di samping itu penjor juga simbol ucapan terima kasih ke
hadapan Hyang Widhi karena sudah dianugerahi kecukupan sandang pangan yang
disimbolkan dengan menggantungkan beraneka buah-buahan, umbi-umbian, jajan, dan
kain putih kuning. Pada sandyakala segenap keluarga mabeakala, yaitu upacara
pensucian diri untuk menyambut hari raya Galungan.
GALUNGAN
Hari Buda, Kliwon, Wuku Dungulan, merupakan perayaan kemenangan
manusia melawan bentuk-bentuk adharma terutama yang ada pada dirinya sendiri.
Bhatara-Bhatari turun dari Kahyangan memberkati umat manusia. Persembahyangan
di Pura, Sanggah Pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih kepada Hyang
Widhi atas anugrah-Nya itu.
MANIS GALUNGAN
Hari Wraspati, Umanis, Wuku Dungulan, 1 hari setelah
Galungan, melaksanakan Dharma Santi berupa kunjungan ke keluarga dan kerabat
untuk mengucapkan syukur atas kemenangan dharma dan mohon maaf atas
kesalahan-kesalahan di masa lalu. Malam harinya mulai melakukan persembahyangan
memuja Dewata Nawa Sangga, mohon agar kemenangan dharma dapat dipertahankan
pada diri kita seterusnya.
Pemujaan di malam hari selama sembilan malam sejak hari
Manis Galungan sampai hari Penampahan Kuningan disebut sebagai persembahyangan
Nawa Ratri (nawa = sembilan, ratri = malam) dimulai berturut-turut memuja
Bhatara-Bhatara: Iswara, Mahesora, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu,
Sambu, dan Tri Purusa (Siwa-Sada Siwa-Parama Siwa).
PEMARIDAN GURU
Hari Saniscara, Pon, Wuku Dungulan, 3 hari setelah Galungan
merupakan hari terakhir Wuku Dungulan meneruskan persembahyangan memuja Dewata
Nawa Sangga khususnya Bhatara Brahma.
ULIHAN
Hari Redite, Wage, Wuku Kuningan, 4 hari setelah Galungan,
Bhatara-Bhatari kembali ke Kahyangan, persembahyangan di Pura atau Sanggah
Pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih atas wara nugraha-Nya.
PEMACEKAN AGUNG
Hari Soma, Kliwon, Wuku Kuningan, 5 hari setelah Galungan.
Melakukan persembahan sajen (caru) kepada para Bhuta agar tidak mengganggu
manusia sehingga Trihitakarana dapat terwujud.
PENAMPAHAN KUNINGAN
Hari Sukra, Wage, Wuku Kuningan, 9 hari setelah Galungan.
Manusia bersiap nampa (menyongsong) hari raya Kuningan. Malam harinya
persembahyangan terakhir dalam urutan Dewata Nawa Sanga, yaitu pemujaan kepada
Sanghyang Tri Purusha (Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa).
KUNINGAN
Hari Saniscara, Kliwon, Wuku Kuningan, 10 hari setelah
Galungan. Para Bhatara-Bhatari turun dari Kahyangan sampai tengah hari. Manusia
mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi atas wara nugrahanya berupa
kekuatan dharma serta mohon agar kita senantiasa dihindarkan dari
perbuatan-perbuatan adharma. Secara simbolis membuat sesajen dengan nasi kuning
sebagai pemberitahuan (nguningang) kepada para preti sentana agar mereka
mengikuti jejak leluhurnya merayakan rangkaian hari raya Galungan – Kuningan. Selain
itu menggantungkan “tamiang” di Palinggih-palinggih sebagai tameng atau perisai
terhadap serangan kekuatan adharma.
PEGAT UWAKAN
Hari Buda, Kliwon, Wuku Paang, satu bulan atau 35 hari
setelah Galungan, merupakan hari terakhir dari rangkaian Galungan. Pegat
artinya berpisah, dan uwak artinya kelalaian. Jadi pegat uwakan artinya jangan
lalai melaksanakan dharma dalam kehidupan seterusnya setelah Galungan. Berata-berata
nguncal balung berakhir, dan selanjutnya roda kehidupan terlaksana sebagaimana
biasa. (Sumber: Bhagawan Dwija)
HARI RAYA NYEPI
Hari
raya suci Umat Hindu yang umum dirayakan adalah : Nyepi, Galungan, piodalan,
Sarasvati puja, Sivaratri puja dan sebagainya. Diantara pelaksanaan hari raya
suci tersebut yang paling menonjol adalah hari raya Nyepi jatuhnya dalam
periode waktu satu tahun sekali tepatnya pada tahun baru saka. Pada saat ini
matahari menuju garis lintang utara, saat Uttarayana yang disebut juga Devayana
yakni waktu yang baik untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa. Sehari
sebelum perayaan hari raya Nyepi dilengkapi dengan upacara Tawur (Bhuta Yajna)
yaitu hari Tilem Chaitra dengan ketentuannya dari lontar Sang Hyang Aji
Swamandala yang menyatakan apabila melaksanakan tawur hendaknya jangan mencari
hari lain selain Tilem bulan Chaitra. Rangkaian perayaan hari raya Nyepi
dimulai dengan acara Melasti, kemudian sehari sebelum hari raya Nyepi
dilangsungkan upacara Bhuta Yajna, dan sebagai hari penutup dilaksanakan
Ngembak Agni sehari setelah hari raya Nyepi. Keseluruhan kegiatan ini
dipusatkan di Pura Desa Puseh, dihadapan Tuhan Purusa atau Sri Visnu, dan Deva
Brahma. Sebagai penyembah dalam kesadaran Krsna atas karunia sang guru
kerohanian kita diberi penglihatan rohani dapat melihat pemandangan secara
terang betapa agungnya kemulyaan Sri Visnu dengan nama lain Yajnapati, Tuhan
penikmat dan tujuan akhir dari segala kurban suci bagi seluruh penghuni alam
jagat raya.
Upacara Melasti
Sebelum pelaksanaan Melasti, semua para deva (arca atau pratima) dari setiap pura dalam wilayah lingkungan kota atau desa diiring berkumpul di Pura Desa Puseh. Para deva satu-persatu berdatangan setelah lebih terdahulu bersujud menghadap Meru, Sri Visnu, kemudian distanakan berdampingan satu sama lain dalam satu bangunan memanjang yang disebut sebagai Balai Panjang atau Balai Agung. Keesokan harinya upacara Melasti dilangsungkan, Tuhan Sri Visnu dan para deva diiringi bersama-sama menuju laut atau ke mata air terdekat yang dianggap suci tergantung daerah masing-masing. Upacara Melasti tidak lain adalah upacara penyucian, prayascita. Dalam lontar Sang Hyang Aji Swamandala disebutkan : “Untuk melenyapkan penderitaan masyarakat dari keterikatan dunia material,” sedangkan lontar Sundarigama menyatakan; “Untuk memperoleh air suci kehidupan di tengah-tengah lautan.” Air suci ini berasal dari muara sungai-sungai suci di India khususnya sungai Gangga. Dalam Srimad Bhagavatam skanda sembilan disebutkan Raja Bhagiratha melakukan pertapaan agar air Gangga turun ke bumi, kemudian memohon kepada ibu Gangga membebaskan leluhurnya. Ibu Gangga tersembur dari kaki padma Tuhan Sri Visnu, Beliau dapat membebaskan seseorang dari ikatan material. Nampak nyata bahwa siapapun yang secara teratur menyembah Ibu Gangga semata-mata dengan mandi di airnya dapat memelihara kesehatan dengan sangat baik dan perlahan-lahan menjadi penyembah Tuhan. Mandi air Gangga dipermaklumkan dalam semua susastra Veda, dan orang yang mengambil manfaat tentu sepenuhnya dibebaskan dari reaksi dosa. Seusai acara Melasti, pada suatu daerah desa tertentu sebelum Sri Visnu dan para deva menuju Pura Desa Puseh terlebih dahulu diiring (dituntun) ke pasar mengikuti acara mepasaran di hadapan Pura Melanting dimana berstana Devi Sri, Devi Laksmi, Devi Keberuntungan. Sekembalinya para deva dari acara mepasaran setelah terlebih dahulu menghadap Sri Visnu, akhirnya para deva berstana di Balai Agung. Sementara Sri Visnu berstana di Meru dan Deva Brahma berstana pada bangunan Gedong di sebelah Meru. Acara berstana ini disebut Nyejer dan berlangsung sampai selesai acara Bhuta Yajna, sehari menjelang hari raya Nyepi, pada sore hari. Selama beberapa hari seluruh warga dan adat setempat melakukan puja, mempersembahkan sesajen atau persembahan yang disebut prani. Pada saat ini pula umat memohon tirta Amrta air suci kehidupan untuk kesejahteraan dirinya, semua makhluk, dan alam semesta. Melalui acara Nyejer terkandung pula permohonan umat kepada Sri Visnu dan para deva untuk menyaksikan upacara Bhuta Yajna yang dilakukan oleh umatnya.
Upacara Bhuta Yajna
Sehari sebelum hari raya Nyepi adalah hari terakhir dari serangkaian upacara di Pura Desa Puseh tersebut, tepatnya pada hari Tilem Chaitra (Kesanga) dilangsungkan upacara Bhuta Yajna yang dikenal dengan Pengerupukan yang bertujuan untuk membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Sri Visnu, manusia dengan sesama makhluk ciptaan-Nya serta manusia dengan alam lingkungan tempatnya hidup. Dalam Bhagawadgita 4.8 Sri Krsna bersabda : Paritranaya sadhunam vinasaya ca duksrtam dharma-samsthapanarthaya sambhavami yuge yuge.
Untuk menyelamatkan orang saleh, membinasakan orang jahat dan
untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip dharma. Aku sendiri muncul pada setiap
zaman. Tentang Bhuta Yajna ini di dalam Agastya Parwa dinyatakan Bhuta Yajna
adalah Tawur untuk kesejahteraan makhluk. Dalam hubungannya dengan hari raya
Nyepi, wujud upacara Bhuta Yajna lebih dikenal Tawur Kesanga yang dilihat dari
tingkat penyelenggaraannya dari tingkat yang paling besar : seratus tahun
sekali disebut Ekadasa Rudra, setiap sepuluh tahun disebut Panca Wali Krama dan
setiap tahun sekali disebut Tawur Kesanga.
Upacara Hari Raya Nyepi
Menurut keputusan Seminar Kesatuan Tapsir terhadap Aspek-spek Agama Hindu tentang Hari Raya Nyepi (1988) bahwa Pelaksanaan Hari Raya Nyepi di Indonesia, pada hakekatnya merupakan penyucian bhuwana agung dan bhuwana alit (makro dan mikrokosmos) untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir bathin (jagadhita dan moksa) terbinanya kehidupan yang berlandaskan satyam (kebenaran), sivam (kesucian), dan sundaram (keharmonisan/keindahan). Sesuai dengan hakekat Hari Raya Nyepi di atas maka umat Hindu wajib melakukan tapa, yoga, dan semadi.
Sebelum pelaksanaan Melasti, semua para deva (arca atau pratima) dari setiap pura dalam wilayah lingkungan kota atau desa diiring berkumpul di Pura Desa Puseh. Para deva satu-persatu berdatangan setelah lebih terdahulu bersujud menghadap Meru, Sri Visnu, kemudian distanakan berdampingan satu sama lain dalam satu bangunan memanjang yang disebut sebagai Balai Panjang atau Balai Agung. Keesokan harinya upacara Melasti dilangsungkan, Tuhan Sri Visnu dan para deva diiringi bersama-sama menuju laut atau ke mata air terdekat yang dianggap suci tergantung daerah masing-masing. Upacara Melasti tidak lain adalah upacara penyucian, prayascita. Dalam lontar Sang Hyang Aji Swamandala disebutkan : “Untuk melenyapkan penderitaan masyarakat dari keterikatan dunia material,” sedangkan lontar Sundarigama menyatakan; “Untuk memperoleh air suci kehidupan di tengah-tengah lautan.” Air suci ini berasal dari muara sungai-sungai suci di India khususnya sungai Gangga. Dalam Srimad Bhagavatam skanda sembilan disebutkan Raja Bhagiratha melakukan pertapaan agar air Gangga turun ke bumi, kemudian memohon kepada ibu Gangga membebaskan leluhurnya. Ibu Gangga tersembur dari kaki padma Tuhan Sri Visnu, Beliau dapat membebaskan seseorang dari ikatan material. Nampak nyata bahwa siapapun yang secara teratur menyembah Ibu Gangga semata-mata dengan mandi di airnya dapat memelihara kesehatan dengan sangat baik dan perlahan-lahan menjadi penyembah Tuhan. Mandi air Gangga dipermaklumkan dalam semua susastra Veda, dan orang yang mengambil manfaat tentu sepenuhnya dibebaskan dari reaksi dosa. Seusai acara Melasti, pada suatu daerah desa tertentu sebelum Sri Visnu dan para deva menuju Pura Desa Puseh terlebih dahulu diiring (dituntun) ke pasar mengikuti acara mepasaran di hadapan Pura Melanting dimana berstana Devi Sri, Devi Laksmi, Devi Keberuntungan. Sekembalinya para deva dari acara mepasaran setelah terlebih dahulu menghadap Sri Visnu, akhirnya para deva berstana di Balai Agung. Sementara Sri Visnu berstana di Meru dan Deva Brahma berstana pada bangunan Gedong di sebelah Meru. Acara berstana ini disebut Nyejer dan berlangsung sampai selesai acara Bhuta Yajna, sehari menjelang hari raya Nyepi, pada sore hari. Selama beberapa hari seluruh warga dan adat setempat melakukan puja, mempersembahkan sesajen atau persembahan yang disebut prani. Pada saat ini pula umat memohon tirta Amrta air suci kehidupan untuk kesejahteraan dirinya, semua makhluk, dan alam semesta. Melalui acara Nyejer terkandung pula permohonan umat kepada Sri Visnu dan para deva untuk menyaksikan upacara Bhuta Yajna yang dilakukan oleh umatnya.
Upacara Bhuta Yajna
Sehari sebelum hari raya Nyepi adalah hari terakhir dari serangkaian upacara di Pura Desa Puseh tersebut, tepatnya pada hari Tilem Chaitra (Kesanga) dilangsungkan upacara Bhuta Yajna yang dikenal dengan Pengerupukan yang bertujuan untuk membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Sri Visnu, manusia dengan sesama makhluk ciptaan-Nya serta manusia dengan alam lingkungan tempatnya hidup. Dalam Bhagawadgita 4.8 Sri Krsna bersabda : Paritranaya sadhunam vinasaya ca duksrtam dharma-samsthapanarthaya sambhavami yuge yuge.
Upacara Hari Raya Nyepi
Menurut keputusan Seminar Kesatuan Tapsir terhadap Aspek-spek Agama Hindu tentang Hari Raya Nyepi (1988) bahwa Pelaksanaan Hari Raya Nyepi di Indonesia, pada hakekatnya merupakan penyucian bhuwana agung dan bhuwana alit (makro dan mikrokosmos) untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir bathin (jagadhita dan moksa) terbinanya kehidupan yang berlandaskan satyam (kebenaran), sivam (kesucian), dan sundaram (keharmonisan/keindahan). Sesuai dengan hakekat Hari Raya Nyepi di atas maka umat Hindu wajib melakukan tapa, yoga, dan semadi.
Upacara Ngembak Agni
Hari Ngembak Agni jatuh setelah Hari Raya Nyepi sebagai hari berakhirnya brata Nyepi. Hari ini dapat dipergunakan melaksanakan dharma shanti baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Dharma shanti dalam lingkungan keluarga dapat dilakukan berupa kunjung mengunjungi dalam kelurga dalam usaha menyampaikan ucapan selamat tahun baru terbinanya kerukunan dan perdamaian. Sedangkan dharma santi di lingkungan masyarakat hendaknya dilakukan dengan dharma wecana, dharma gita (lagu-lagu keagamaan/kidung kekawin pembacaan sloka), dharma tula (diskusi), persembahyangan, pentas seni yang bernafaskan keagamaan serta memberikan “punia” atau berdarma sosial kepada yang patut menerimanya.
Brata hari raya Nyepi.
Sesuai dengan hakekat hari raya Nyepi tersebut di atas, maka umat Hindu wajib melakukan tapa, yoga, dan semadi. Brata tersebut didukung dengan catur brata Nyepi, sebagai berikut :
Sesuai dengan hakekat hari raya Nyepi tersebut di atas, maka umat Hindu wajib melakukan tapa, yoga, dan semadi. Brata tersebut didukung dengan catur brata Nyepi, sebagai berikut :
- Amati Geni, tidak menyalakan api serta tidak
mengobarkan hawa nafsu.
- Amati karya, yaitu tidak melakukan kegiatan kerja jasmani
melainkan meningkatkan kegiatan menyucikan rohani.
- Amati lelungaan, yaitu tidak bepergian melainkan
melakukan mawas diri.
- Amati lelanguan, yaitu tidak mengobarkan kesenangan
melainkan melakukan pemusatan pikiran terhadap Ida Sanghyang Widhi.
HARI
RAYA SIWARATRI
Ciwaratri adalah
hari suci untuk melaksanakan pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa dalam perwujudan-Nya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri
mempunyai makna khusus bagi umat Hindu, karena pada hari tersebut Sang Hyang
Siwa diyakini sedang melakukan yoga semadi. Sehubungan dengan hal tersebut,
umat Hindu mengadakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri,
pemusatan pikiran kehadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menemukan "kesadaran
diri" (atutur ikang atma ri jatinya). Hari Siwaratri jatuh pada hari
"Catur Dasikrsnapaksa" bulan "Magha (panglong ping 14 sasih
kapitu). Di dalam sastra hindu yaitu lontar Lubdhaka (oleh Mpu Tantular)
disebutkan tentang pelaksanaan hari Ciwaratri. Pelaksanaan hari Ciwaratri
diawali dengan pembersihan badan dengan cara mandi di pagi hari. Setelah
melakukan persembahyangan pagi, kemudian dilanjutkan dengan melakukan puasa.
Pada malam harinya dilakukan sambang samadhi yaitu tidak tidur semalam suntuk dengan
cara menenangkan pikiran atau membaca kitab-kitab suci.
Pada malam Ciwaratri ini, setiap orang mendapatkan kesempatan untuk melebur perbuatan buruknya dengan jalan melakukan brata Ciwaratri. Jadi sesungguhnya malam Ciwaratri adalah malam peleburan dosa, yaitu dosa-dosa yang telah dilakukan selama hidupnya. Orang yang paling berdosa sekalipun mendapat kesempatan melebur dosanya pada malam Ciwaratri.
Adapun brata Ciwaratri tediri dari tiga macam pantangan yaitu: monabrata (tidak berbicara), upawasa (tidak makan dan tidak minum) dan jagra (tidak tidur). Ketiga macam pantangan tersebut dilakukan dengan tiga tingkatan sesuai dengan kemampuan. Tiga tingkatan tesebut adalah:
Pada malam Ciwaratri ini, setiap orang mendapatkan kesempatan untuk melebur perbuatan buruknya dengan jalan melakukan brata Ciwaratri. Jadi sesungguhnya malam Ciwaratri adalah malam peleburan dosa, yaitu dosa-dosa yang telah dilakukan selama hidupnya. Orang yang paling berdosa sekalipun mendapat kesempatan melebur dosanya pada malam Ciwaratri.
Adapun brata Ciwaratri tediri dari tiga macam pantangan yaitu: monabrata (tidak berbicara), upawasa (tidak makan dan tidak minum) dan jagra (tidak tidur). Ketiga macam pantangan tersebut dilakukan dengan tiga tingkatan sesuai dengan kemampuan. Tiga tingkatan tesebut adalah:
- Utama, melaksanakan: monabrata, upawasa, dan jagra
- Madya, melaksanakan: upawasa dan jagra
- Nista, melaksanakan: jagra
Lebih lanjut tentang pelaksanaan
Ciwaratri adalah sebagai berikut:
- Untuk Sang Sadhaka disesuaikan dengan "dharmaning
kawikon".
- Untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan
"sucilaksana" (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14
sasih kapitu. Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan
sebagai berikut :
- "Maprayascita" sebagai pembersihan pikiran
dan bathin.
- Ngaturang banten pajati (mempersembahkan sesajen
pajati) di Sanggar Surya disertai persembahyangan kehadapan Sang Hyang
Surya, mohon kesaksian-Nya.
- Sembahyang kehadapan leluhur yang telah "sidha
dewata" mohon bantuan dan tuntunannya.
- Ngaturang banten pajati kehadapan Sang Hyang Siwa.
Banten ditempatkan pada "Sanggar Tutuan" atau "Palinggih
Padma" atau dapat pula pada "Piasan" di Pemerajan atau
Sanggah. Kalau semuanya tidak ada, dapat pula diletakkan pada suatu tempat
di halaman terbuka yang dipandang wajar dan diikuti sembahyang yang
ditujukan kepada Sang Hyang Siwa dan Dewa Samodhaya. Setelah sembahyang dilanjutkan
dengan nunas (mohon) "Tirta Pakuluh". Terakhir adalah
"masegeh" di depan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwaratri
ditutup dengan melaksanakan "Dana Punia"
- Sementara proses itu berlangsung, agar tetap mentaati
upawasa dan jagra. Upawasa berlangsung dari pagi hari pada panglong ping
14 sasih kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam). Setelah itu sampai
malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air
putih. Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya Pukul
18.00 (36 jam).
- Persembahyangan kehadapan Sang Hyang Siwa dengan banten
pajati, dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping
14 sasih kapitu, pada tengah malam, dan besoknya menjelang pagi
HARI
RAYA SARASWATI
Saraswati
adalah nama dewi, Sakti Dewa Brahma (dalam konteks ini, sakti berarti istri).
Dewi Saraswati diyakini sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam
fungsi-Nya sebagai dewi ilmu pengetahuan. Dalam berbagai lontar di Bali
disebutkan "Hyang Hyangning Pangewruh." Di India umat Hindu
mewujudkan Dewi Saraswati sebagai dewi yang amat cantik bertangan empat
memegang: wina (alat musik), kropak (pustaka), ganitri (japa mala) dan bunga
teratai. Dewi Saraswati dilukiskan berada di atas angsa dan di sebe-lahnya ada
burung merak. Dewi Saraswati oleh umat di India dipuja dalam wujud Murti Puja.
Umat Hindu di Indonesia memuja Dewi Saraswati dalam wujud hari raya atau
rerahinan. Hari raya untuk memuja Saraswati dilakukan setiap 210 hari yaitu
setiap hari Sabtu Umanis Watugunung. Besoknya, yaitu hari Minggu Paing wuku
Sinta adalah hari Banyu Pinaruh yaitu hari yang merupakan kelanjutan dari
perayaan Saraswati. Perayaan Saraswati berarti mengambil dua wuku yaitu wuku
Watugunung (wuku yang terakhir) dan wuku Sinta (wuku yang pertama). Hal ini
mengandung makna untuk mengingatkan kepada manusia untuk menopang hidupnya
dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari Sang Hyang Saraswati. Karena
itulah ilmu penge-tahuan pada akhirnya adalah untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya
sebagai Dewi Saraswati. Pada hari Sabtu wuku Watugunung itu, semua pustaka
terutama Weda dan sastra-sastra agama dikumpulkan sebagai lambang stana
pemujaan Dewi Saraswati. Di tempat pustaka yang telah ditata rapi dihaturkan
upacara Saraswati. Upacara Saraswati yang paling inti adalah banten (sesajen)
Saraswati, daksina, beras wangi dan dilengkapi dengan air kumkuman (air yang
diisi kembang dan wangi-wangian). Banten yang lebih besar lagi dapat pula
ditambah dengan banten sesayut Saraswati, dan banten tumpeng dan sodaan
putih-kuning. Upacara ini dilangsungkan pagi hari dan tidak boleh lewat tengah hari.
Menurut keterangan lontar Sundarigama tentang Brata Saraswati, pemujaan Dewi
Saraswati harus dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi sampai
tengah hari tidak diperkenankan membaca dan menulis terutama yang menyangkut
ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh,
tidak membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan bagi
yang melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari dapat membaca dan menulis.
Bahkan di malam hari dianjurkan melakukan malam sastra dan sambang samadhi. Besoknya
pada hari Radite (Minggu) Paing wuku Sinta dilangsungkan upacara Banyu Pinaruh.
Kata Banyu Pinaruh artinya air ilmu pengetahuan. Upacara yang dilakukan yakni
menghaturkan laban nasi pradnyam air kumkuman dan loloh (jamu) sad rasa
(mengandung enam rasa). Pada puncak upacara, semua sarana upacara itu diminum
dan dimakan. Upacara lalu ditutup dengan matirtha. Upacara ini penuh makna
yakni sebagai lambang meminum air suci ilmu pengetahuan. Filosofi dan Mitologi Upacara
dan upakara dalam agama Hindu pada hakikatnya mengandung makna filosofis
sebagai penjabaran dari ajaran agama Hindu. Secara etimologi, kata Saraswati
berasal dari Bahasa Sansekerta yakni dari kata Saras yang berarti "sesuatu
yang mengalir" atau "ucapan". Kata Wati artinya memiliki. Jadi
kata Saraswati secara etimologis berarti sesuatu yang mengalir atau makna dari
ucapan. Ilmu pengetahuan itu sifatnya mengalir terus-menerus tiada
henti-hentinya ibarat sumur yang airnya tiada pernah habis mes-kipun tiap hari
ditimba untuk memberikan hidup pada umat manusia. Sebagaimana disebutkan,
Saraswati juga berarti makna ucapan atau kata yang bermakna. Kata atau ucapan
akan memberikan makna apabila didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan itulah yang akan menjadi dasar orang untuk menjadi manusia yang
bijaksana. Kebijaksanaan merupakan dasar untuk mendapatkan kebahagiaan atau ananda.
Kehidupan yang bahagia itulah yang akan mengantarkan atma kembali luluh dengan
Brahman.
Dalam upacara atau hari raya Saraswati, bagi umat Hindu di Indonesia, upacara dihaturkan dalam tumpukan lontar-lontar atau buku-buku keagamaan dan sastra termasuk pula buku-buku ilmu pengetahuan lainnya. Bagi umat Hindu di Indonesia aksara yang merupakan lambang itulah sebagai stana Dewi Saraswati. Aksara dalam buku atau lontar adalah rangkaian huruf yang membangun ilmu pengetahuan aparawidya maupun parawidya. Aparawidya adalah ilmu pengetahuan tentang ciptaan Tuhan seperti Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Parawidya adalah ilmu pengetahuan tentang sang pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu di Indonesia - juga di Bali - tidak ada pelinggih khusus untuk memuja Saraswati yang di Bali diberi nama lengkap Ida Sang Hyang Aji Saraswati. Gambar atau patung Dewi Saraswati yang dikenal di Indonesia berasal dari India. Dewi Saraswati ada digambarkan duduk dan ada pula versi yang berdiri di atas angsa dan bunga padma. Ada juga yang berdiri di atas bunga padma, sedangkan angsa dan burung meraknya ada di sebelah menyebelah dengan Dewi Saraswati. Tentang perbedaan versi tadi bukanlah masalah dan memang tidak perlu dipersoalkan. Yang terpenting dari penggambaran Dewi Saraswati itu adalah makna filosofi yang ada di dalam simbol gambar tadi. Dewi yang cantik dan berwibawa menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah sesuatu yang amat menarik dan mengagumkan. Kecantikan Dewi Saraswati bukanlah kemolekan yang dapat merangsang munculnya nafsu birahi. Kecantikan Dewi Saraswati adalah kecantikan yang penuh wibawa. Memang orang yang berilmu itu akan menimbulkan daya tarik yang luar biasa. Karena itu dalam Kakawin Niti Sastra ada disebutkan bahwa orang yang tanpa ilmu pengetahun, amat tidak menarik biarpun yang bersangkutan muda usia, sifatnya bagus dan keturunan bangsawan. Orang yang demikian ibarat bunga merah menyala tetapi tanpa bau harum sama sekali. Sedangkan cakepan atau daun lontar yang dibawa Dewi Saraswati merupakan lambang ilmu pengetahuan. Sedangkan genitri adalah lambang bahwa ilmu pengetahuan itu tiada habis-habisnya. Genitri juga lambang atau alat untuk melakukan japa. Ber-japa yaitu aktivitas spiritual untuk menyebut nama Tuhan berulang-ulang. Ini pula berarti, menuntut ilmu pengetahuan merupakan upaya manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini berarti pula, ilmu pengetahuan yang mengajarkan menjauhi Tuhan adalah ilmu yang sesat. Wina yaitu sejenis alat musik, yang di Bali disebut rebab. Suaranya amat merdu dan melankolis. Ini melambangkan bahwa ilmu pengetahuan itu mengandung keindahan atau estetika yang amat tinggi. Bunga padma adalah lambang Bhuana Agung stana Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti ilmu pengetahuan yang suci itu memiliki Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Teratai juga merupakan lambang kesucian sebagai hakikat ilmu pengetahuan. Angsa adalah jenis binatang unggas yang memiliki sifat-sifat yang baik yaitu tidak suka berkelahi dan suka hidup harmonis. Angsa juga memiliki kemampuan memilih makanan. Meskipun makanan itu bercampur dengan air kotor tetapi yang masuk ke perutnya adalah hanya makanan yang baik saja, sedangkan air yang kotor keluar dengan sendirinya. Demikianlah, orang yang telah dapat menguasai ilmu pengetahuan, kebijaksanaan mereka memiliki kemampuan wiweka. Wiweka artinya suatu kemampuan untuk membeda-bedakan yang baik dengan yang jelek dan yang benar dengan yang salah. Bunga Padma atau bunga teratai adalah bunga yang melambangkan alam semesta dengan delapan penjuru mata anginnya (asta dala) sebagai stana Tuhan. Burung merak adalah lambang kewibawaan. Orang yang mampu menguasai ilmu pengetahuan adalah orang yang akan mendapatkan kewibawaan. Sehubungan dengan ini, Swami Sakuntala Jagatnatha dalam buku Introduction of Hinduisme menjelaskan bahwa ilmu yang dapat dimiliki oleh seseorang akan menyebabkan orang-orang itu menjadi egois atau sombong. Karena itu ilmu itu harus diserahkan pada Dewi Saraswati sehingga pemiliknya menjadi penuh wibawa karena egoisme atau kesombongan itu telah disingkirkan oleh kesucian dari Dewi Saraswati. Ilmu pengetahuan adalah untuk memberi pelayanan kepada manusia dan alam serta untuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam upakara yang disebut Banten Saraswati salah satu unsurnya ada disebut jajan Saraswati. Jajan ini dibuat dari tepung beras berwarna putih dan berisi lukisan dua ekor binatang cecak. Mata cecak itu dibuat dari injin (beras hitam) dan di sebelahnya ada telur cecak. Dalam banten Saraswati itu mempunyai arti yang cukup dalam. Menurut para ahli Antropologi, bangsa-bangsa Austronesia memiliki kepercayaan bahwa binatang melata seperti cecak diyakini memiliki kekuatan dan kepekaan pada getaran-getaran spiritual. Jajan Saraswati yang berisi gambar cecak memberi pelajaran bahwa ilmu pengetahuan itu jangan hanya berfungsi mengembangkan kekuatan ratio atau pikiran saja, tetapi harus mampu mendorong manusia untuk memiliki kepekaan intuisi sehingga dapat menangkap getaran-getaran rohani. Dalam lontar Saraswati juga memakai daun beringin. Daun beringin adalah lambang kelanggengan atau keabadian serta pengayoman. Ini berarti ilmu pengetahuan itu bermaksud mengantarkan kepada kehidupan yang kekal abadi. Ilmu pengetahuan juga berarti pengayoman.
Tentang Dewi Saraswati ada cerita menarik yang terdapat dalam Utara Kanda bagian dari epos Ramayana. Dalam cerita tersebut dikisahkan Dewi Saraswati bersemayam secara gaib di lidah Kumbakarna sehingga dunia terhindar dari kekacauan. Alkisah Resi Waisrawa beristri Dewi Kaikaisi. Pasangan Resi ini berputra empat orang, tiga orang laki dan seorang perempuan. Putra sang resi yang pertama bernama Dasa Muka (Rahwana), kedua Kumbakarna, ketiga bernama Dewi Surpanaka dan yang terkecil bernama Gunawan Wibhisana. Sang Resi menugaskan putra laki-lakinya supaya bertapa di gunung Gokarna. Ketiga putra Resi Waisrawa itu kemudian membangun tempat pertapaan yang terpisah-pisah di gunung Gokarna. Bertahun-tahun mereka bertapa dengan teguh dan tekunnya. Karena ketekunannya itu, lalu Dewa Brahma berkenan memberikan anugrah. Pertama-tama Dewa Brahma mendatangi Rahwana. Dewa Brahma menanyakan tentang apa yang diharapkan dalam tapanya ini. Rahwama mengajukan permohonan dapat kiranya Dewa Brahma menganugrahkan kekuasaan di seluruh dunia. Semua dewa, gandarwa, manusia dan seluruh makhluk di dunia ini tunduk padanya. Permohonan Rahwana ini dikabulkan. Selanjutnya Dewa Brahma menuju pertapaan Gunawan Wibhisana dan menyatakan pula akan memberikan anugrah atas tapanya. Gunawan Wibhisana menyampaikan permohonannya dapat kiranya Dewa Brahma memberikan anugrah berupa kesehatan dan ketenangan rohani, memiliki sifat-sifat utama dan taat melakukan pemujaan kepada Tuhan. Dewa Brahma mengabulkan permohonan Wibhisana. Begitu Dewa Brahma akan beranjak menuju pertapaan Kumbakarna para dewa berdatang sembah kepada Dewa Brahma. Para dewa memohon agar Dewa Brahma tidak menganugrahkan permohonan Kumbakarna. Pasalnya, Kumbakarna berbadan raksasa yang maha hebat. Kalau ia punya kesaktian, sungguh sangat membahayakan keselamatan manusia di dunia. Meskipun ada permohonan para dewa itu, Dewa Brahma bertekad memberikan anugrah. Sebab, jika tidak, Brahma merasa berlaku tidak adil kepada ketiga putra Resi Waisrawa. Apalagi Kumbakarna juga melakukan tapa yang tekun sehingga layak mendapat anugrah. Namun untuk memenuhi permohonan para dewa itu, Dewa Brahma punya akal. Istri atau saktinya yaitu Dewi Saraswati diutus supaya berstana di lidah Kumbakarna dan bertugas untuk membuat lidahnya salah ucap. Setelah itu Dewa Brahma datang memberikan anugrah pada Kumbakarna. Kumbakarna memohon anugrah yakni agar selama hidupnya selalu senang. Karena itu ia semestinya mengucapkan "suka sada". Namun akibat Saraswati membelokkan lidah Kumbakarna, ucapan yang terlontar dari mulut raksasa tinggi besar itu adalah "supta sada" yang artinya selalu tidur. Suka artinya senang dan supta artinya tidur. Andaikata Kumbakarna mendapatkan anugrah hidup bersenang-senang, maka besar kemungkinannya ia selalu meng-humbar hawa nafsu. Raksasa yang menghumbar hawa nafsu tentu akan dapat mengacaukan kehidupan di dunia. Demikianlah peranan Dewi Saraswati, dengan kata-kata yang tersaring dalam lidah dapat menyelamatkan dunia dari kekacauan.
Di dalam kesusastraan Weda, Saraswati adalah nama sungai yang disebut Dewa Nadi artinya sungainya para dewa. Sungai Saraswati terletak di selatan daerah Brahmawarta atau Kuruksetra. Di sebelah utara Kuruksetra ada sungai bernama sungai Dasdwati. Kedua sungai itu diyakini berasal dari Indraloka. Karena itulah disebut Dewa Nadi. Keterangan ini juga diuraikan dalam Manawa Dharmasastra II,17. Karena itulah sungai Saraswati amat dihormati dalam puja mantra agama Hindu seperti dalam mantra Sapta Tirtha atau Sapta Gangga uang menyebutkan tujuh sungai utama di India. Tujuh sungai itu yaitu sungai Gangga, Saraswati, Shindu, Wipasa, Kausiki, Yamuna dan Serayu. Dalam mantram Surya Sewana, Saraswati dipuja pula dalam Catur Resi yaitu Sarwa Dewa, Sapta Resi, Sapta Pitara dan Saraswati. Dewi Saraswati diyakini pula sebagai pemelihara kitab suci Weda. Hal ini diceritakan dalam Salya Parwa sebagai berikut. Di lembah sungai Saraswati, terdapat tujuh resi ahli Weda yaitu Resi Gautama, Bharadwaja, Wiswamitra, Yamadageni, Resi Wasistha, Kasiyapa dan Atri. Ketika musim kemarau datang, keadaan di lembah sungai Saraswati itu kering. Tumbuh-tumbuhan tidak dapat tumbuh dengan baik. Bahan makanan pun menjadi sulit didapat. Karena keadaan alam yang gersang seperti itu, Sapta Resi itupun pindah ke tempat lain. Sedangkan putra Dewi Saraswati yang bernama Saraswata masih setia bertempat tinggal di lembah sungai Saraswati. Karena kesetiaannya tinggal di tempat itu, Saraswata mendapat perlindungan dari ibunya. Saraswata tetap mendapat bahan makanan dari lembah sungai itu. Para Resi yang meninggalkan lembah sungai Saraswati, lambat laun tidak tahan pada keadaan yang dialaminya. Karena di tempatnya yang baru, mereka sulit juga mengubah nasib. Lagi pula para resi tadi telah lupa pada isi Weda. Padahal, memahami Weda merupakan suatu kewajiban yang mutlak sebagai identitas seorang resi. Gelar resinya akan tanpa makna kalau sampai lupa pada isi Weda.Keadaan itu menyebabkan sang Sapta Resi kembali ke lembah sungai Saraswati. Di lembah sungai Saraswati itulah para resi mohon kesediaan Dewi Saraswati membangkitkan kesadarannya untuk kembali dapat memahami isi Weda yang merupakan tugas pokoknya. Dewi Saraswati memberi anugrah apabila para resi bersedia menjadi siswanya. Para resi bertanya, apakah patut orang yang lebih tua berguru pada yang muda karena Dewi Saraswati masih sangat muda. Terhadap pertanyaan ini, Dewi Saraswati menjelaskan, seorang guru kerohanian tidaklah tergantung pada umurnya, kekayaannya, kebangsawanannya. Seorang guru kerohanian patut dilihat dari kemampuannya menguasai dan menyampaikan isi Weda. Kedewasaan spiritual Wedalah yang menjadi patokan utama. Penjelasan itu yang menyebabkan semua resi tetap berguru pada Dewi Saraswati. Setelah kejadian itu, datang lagi enam puluh ribu orang menghadap Dewi Saraswati agar diterima sebagai murid karena ingin mendalami lautan rohani Weda. Lewat para resi dan siswa tadi, Dewi Saraswati mengidupkan dan menyebarkan isi Veda ke seluruh pelosok dunia. Mitologi Dewi Saraswati dijelaskan pula dalam kitab Aiterya Brahmana. Dikisahkan seorang pendeta bernama Resi Kawasa keturunan Sudra Wangsa. Pada suatu hari, sang resi memimpin suatu upacara yajña. Karena resi itu keturunan Sudra Wangsa, maka sang resi dilarang memimpin upacara oleh pendeta dari Wangsa Brahmana. Sang resi Kawasa diusir dan dibuang ke padang pasir dengan tujuan agar ia mati di tengah-tengah padang pasir yang gersang itu. Setelah ia berada di tengah-tengah padang pasir, Resi Kawasa tetap melakukan pemujaan kepada Tuhan. Karena khusuknya pemujaan, turunlah Dewi Saraswati dengan penuh kasih sayang. Resi Kawasa pun diajarkan Weda mantra lengkap dengan Stuti dan Stotranya. Karena ketekunannya, semua pelajaran dari Dewi Saraswati dapat dikuasainya dengan baik. Kesucian dan kemampuan Resi Kawasa akhirnya jauh meningkat dari sebelumnya. Dewi Saraswati menganggap, kemampuan Resi Kawasa sudah luar biasa. Sang resi pun diizinkan kembali ke tempatnya oleh Dewi Saraswati. Setelah ia sampai di tempatnya semula, pendeta dari Wangsa Brahmana itu amat kagum atas keberhasilan Resi Kawasa. Resi Kawasa memang mampu menujukkan kemahirannya tentang Weda baik teori maupun praktek kehidupan sehari-hari berupa tingkah laku yang bersusila tinggi. Akibat keutamaannya itu, Resi Kawasa diakui semua umat dan semua resi sebagai brahmana pendeta sejati. Demikianlah kekuasaan Dewi Saraswati akan dapat memberikan peningkatan kesucian dan kehormatan kepada mereka yang memujanya dengan sungguh-sunguh.
Pada Hari Raya Saraswati Tentang bunga padma yang di Bali disebut bunga tunjung dipegang oleh salah satu tangan patung atau gambar Dewi Saraswati adalah memiliki lambang-lambang tersendiri. Di dalam Kakawin Saraswati disebutkan, bunga padma putih yang sedang kembang merupakan lambang jantung di Bhuana Alit. Padma merah ada dalam hati, padma biru ada dalam empedu. Budi suci sebagai aliran sungai Sindhu selalu meyakini kesuburan bunga-bunga padma yang berwarna-warni itu. Kecakapan bagaikan aliran sungai Narmada. Kemurnian hatiku sebagai sungai Gangga. Dewi Saraswati berstana di lidah dan Dewi Irawati berstana di mata. Demikianlah tujuan pemujaan Dewi Saraswati. Kalau tujuan pemujaan Dewi Saraswati dapat tercapai maka terhindarlah kita dari godaan penyakit, kelakuan jahat dan buruk. Semua perumpamaan itu adalah suatu metoda seni sastra agama untuk mendatang kehalusan budi. Agama mengarahkan hidup, ilmu pengetahuan memudahkan hidup, sedangkan seni menghaluskan hidup. Karena itulah, memuja Tuhan Yang Maha Esa menurut pandangan Hindu juga menggunakan aspek seni. Pemujaan kepada Dewi Saraswati tiada lain adalah memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam aspeknya sebagai sumber ilmu pengetahuan suci Weda. Menggapai kesucian Weda hendaknya juga melalui seni budaya yang indah. Khususnya yang didasarkan oleh keindahan seni itulah yang akan dapat dijadikan dasar untuk mencapai kesucian Sang Hyang weda
Dalam upacara atau hari raya Saraswati, bagi umat Hindu di Indonesia, upacara dihaturkan dalam tumpukan lontar-lontar atau buku-buku keagamaan dan sastra termasuk pula buku-buku ilmu pengetahuan lainnya. Bagi umat Hindu di Indonesia aksara yang merupakan lambang itulah sebagai stana Dewi Saraswati. Aksara dalam buku atau lontar adalah rangkaian huruf yang membangun ilmu pengetahuan aparawidya maupun parawidya. Aparawidya adalah ilmu pengetahuan tentang ciptaan Tuhan seperti Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Parawidya adalah ilmu pengetahuan tentang sang pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu di Indonesia - juga di Bali - tidak ada pelinggih khusus untuk memuja Saraswati yang di Bali diberi nama lengkap Ida Sang Hyang Aji Saraswati. Gambar atau patung Dewi Saraswati yang dikenal di Indonesia berasal dari India. Dewi Saraswati ada digambarkan duduk dan ada pula versi yang berdiri di atas angsa dan bunga padma. Ada juga yang berdiri di atas bunga padma, sedangkan angsa dan burung meraknya ada di sebelah menyebelah dengan Dewi Saraswati. Tentang perbedaan versi tadi bukanlah masalah dan memang tidak perlu dipersoalkan. Yang terpenting dari penggambaran Dewi Saraswati itu adalah makna filosofi yang ada di dalam simbol gambar tadi. Dewi yang cantik dan berwibawa menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah sesuatu yang amat menarik dan mengagumkan. Kecantikan Dewi Saraswati bukanlah kemolekan yang dapat merangsang munculnya nafsu birahi. Kecantikan Dewi Saraswati adalah kecantikan yang penuh wibawa. Memang orang yang berilmu itu akan menimbulkan daya tarik yang luar biasa. Karena itu dalam Kakawin Niti Sastra ada disebutkan bahwa orang yang tanpa ilmu pengetahun, amat tidak menarik biarpun yang bersangkutan muda usia, sifatnya bagus dan keturunan bangsawan. Orang yang demikian ibarat bunga merah menyala tetapi tanpa bau harum sama sekali. Sedangkan cakepan atau daun lontar yang dibawa Dewi Saraswati merupakan lambang ilmu pengetahuan. Sedangkan genitri adalah lambang bahwa ilmu pengetahuan itu tiada habis-habisnya. Genitri juga lambang atau alat untuk melakukan japa. Ber-japa yaitu aktivitas spiritual untuk menyebut nama Tuhan berulang-ulang. Ini pula berarti, menuntut ilmu pengetahuan merupakan upaya manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini berarti pula, ilmu pengetahuan yang mengajarkan menjauhi Tuhan adalah ilmu yang sesat. Wina yaitu sejenis alat musik, yang di Bali disebut rebab. Suaranya amat merdu dan melankolis. Ini melambangkan bahwa ilmu pengetahuan itu mengandung keindahan atau estetika yang amat tinggi. Bunga padma adalah lambang Bhuana Agung stana Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti ilmu pengetahuan yang suci itu memiliki Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Teratai juga merupakan lambang kesucian sebagai hakikat ilmu pengetahuan. Angsa adalah jenis binatang unggas yang memiliki sifat-sifat yang baik yaitu tidak suka berkelahi dan suka hidup harmonis. Angsa juga memiliki kemampuan memilih makanan. Meskipun makanan itu bercampur dengan air kotor tetapi yang masuk ke perutnya adalah hanya makanan yang baik saja, sedangkan air yang kotor keluar dengan sendirinya. Demikianlah, orang yang telah dapat menguasai ilmu pengetahuan, kebijaksanaan mereka memiliki kemampuan wiweka. Wiweka artinya suatu kemampuan untuk membeda-bedakan yang baik dengan yang jelek dan yang benar dengan yang salah. Bunga Padma atau bunga teratai adalah bunga yang melambangkan alam semesta dengan delapan penjuru mata anginnya (asta dala) sebagai stana Tuhan. Burung merak adalah lambang kewibawaan. Orang yang mampu menguasai ilmu pengetahuan adalah orang yang akan mendapatkan kewibawaan. Sehubungan dengan ini, Swami Sakuntala Jagatnatha dalam buku Introduction of Hinduisme menjelaskan bahwa ilmu yang dapat dimiliki oleh seseorang akan menyebabkan orang-orang itu menjadi egois atau sombong. Karena itu ilmu itu harus diserahkan pada Dewi Saraswati sehingga pemiliknya menjadi penuh wibawa karena egoisme atau kesombongan itu telah disingkirkan oleh kesucian dari Dewi Saraswati. Ilmu pengetahuan adalah untuk memberi pelayanan kepada manusia dan alam serta untuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam upakara yang disebut Banten Saraswati salah satu unsurnya ada disebut jajan Saraswati. Jajan ini dibuat dari tepung beras berwarna putih dan berisi lukisan dua ekor binatang cecak. Mata cecak itu dibuat dari injin (beras hitam) dan di sebelahnya ada telur cecak. Dalam banten Saraswati itu mempunyai arti yang cukup dalam. Menurut para ahli Antropologi, bangsa-bangsa Austronesia memiliki kepercayaan bahwa binatang melata seperti cecak diyakini memiliki kekuatan dan kepekaan pada getaran-getaran spiritual. Jajan Saraswati yang berisi gambar cecak memberi pelajaran bahwa ilmu pengetahuan itu jangan hanya berfungsi mengembangkan kekuatan ratio atau pikiran saja, tetapi harus mampu mendorong manusia untuk memiliki kepekaan intuisi sehingga dapat menangkap getaran-getaran rohani. Dalam lontar Saraswati juga memakai daun beringin. Daun beringin adalah lambang kelanggengan atau keabadian serta pengayoman. Ini berarti ilmu pengetahuan itu bermaksud mengantarkan kepada kehidupan yang kekal abadi. Ilmu pengetahuan juga berarti pengayoman.
Tentang Dewi Saraswati ada cerita menarik yang terdapat dalam Utara Kanda bagian dari epos Ramayana. Dalam cerita tersebut dikisahkan Dewi Saraswati bersemayam secara gaib di lidah Kumbakarna sehingga dunia terhindar dari kekacauan. Alkisah Resi Waisrawa beristri Dewi Kaikaisi. Pasangan Resi ini berputra empat orang, tiga orang laki dan seorang perempuan. Putra sang resi yang pertama bernama Dasa Muka (Rahwana), kedua Kumbakarna, ketiga bernama Dewi Surpanaka dan yang terkecil bernama Gunawan Wibhisana. Sang Resi menugaskan putra laki-lakinya supaya bertapa di gunung Gokarna. Ketiga putra Resi Waisrawa itu kemudian membangun tempat pertapaan yang terpisah-pisah di gunung Gokarna. Bertahun-tahun mereka bertapa dengan teguh dan tekunnya. Karena ketekunannya itu, lalu Dewa Brahma berkenan memberikan anugrah. Pertama-tama Dewa Brahma mendatangi Rahwana. Dewa Brahma menanyakan tentang apa yang diharapkan dalam tapanya ini. Rahwama mengajukan permohonan dapat kiranya Dewa Brahma menganugrahkan kekuasaan di seluruh dunia. Semua dewa, gandarwa, manusia dan seluruh makhluk di dunia ini tunduk padanya. Permohonan Rahwana ini dikabulkan. Selanjutnya Dewa Brahma menuju pertapaan Gunawan Wibhisana dan menyatakan pula akan memberikan anugrah atas tapanya. Gunawan Wibhisana menyampaikan permohonannya dapat kiranya Dewa Brahma memberikan anugrah berupa kesehatan dan ketenangan rohani, memiliki sifat-sifat utama dan taat melakukan pemujaan kepada Tuhan. Dewa Brahma mengabulkan permohonan Wibhisana. Begitu Dewa Brahma akan beranjak menuju pertapaan Kumbakarna para dewa berdatang sembah kepada Dewa Brahma. Para dewa memohon agar Dewa Brahma tidak menganugrahkan permohonan Kumbakarna. Pasalnya, Kumbakarna berbadan raksasa yang maha hebat. Kalau ia punya kesaktian, sungguh sangat membahayakan keselamatan manusia di dunia. Meskipun ada permohonan para dewa itu, Dewa Brahma bertekad memberikan anugrah. Sebab, jika tidak, Brahma merasa berlaku tidak adil kepada ketiga putra Resi Waisrawa. Apalagi Kumbakarna juga melakukan tapa yang tekun sehingga layak mendapat anugrah. Namun untuk memenuhi permohonan para dewa itu, Dewa Brahma punya akal. Istri atau saktinya yaitu Dewi Saraswati diutus supaya berstana di lidah Kumbakarna dan bertugas untuk membuat lidahnya salah ucap. Setelah itu Dewa Brahma datang memberikan anugrah pada Kumbakarna. Kumbakarna memohon anugrah yakni agar selama hidupnya selalu senang. Karena itu ia semestinya mengucapkan "suka sada". Namun akibat Saraswati membelokkan lidah Kumbakarna, ucapan yang terlontar dari mulut raksasa tinggi besar itu adalah "supta sada" yang artinya selalu tidur. Suka artinya senang dan supta artinya tidur. Andaikata Kumbakarna mendapatkan anugrah hidup bersenang-senang, maka besar kemungkinannya ia selalu meng-humbar hawa nafsu. Raksasa yang menghumbar hawa nafsu tentu akan dapat mengacaukan kehidupan di dunia. Demikianlah peranan Dewi Saraswati, dengan kata-kata yang tersaring dalam lidah dapat menyelamatkan dunia dari kekacauan.
Di dalam kesusastraan Weda, Saraswati adalah nama sungai yang disebut Dewa Nadi artinya sungainya para dewa. Sungai Saraswati terletak di selatan daerah Brahmawarta atau Kuruksetra. Di sebelah utara Kuruksetra ada sungai bernama sungai Dasdwati. Kedua sungai itu diyakini berasal dari Indraloka. Karena itulah disebut Dewa Nadi. Keterangan ini juga diuraikan dalam Manawa Dharmasastra II,17. Karena itulah sungai Saraswati amat dihormati dalam puja mantra agama Hindu seperti dalam mantra Sapta Tirtha atau Sapta Gangga uang menyebutkan tujuh sungai utama di India. Tujuh sungai itu yaitu sungai Gangga, Saraswati, Shindu, Wipasa, Kausiki, Yamuna dan Serayu. Dalam mantram Surya Sewana, Saraswati dipuja pula dalam Catur Resi yaitu Sarwa Dewa, Sapta Resi, Sapta Pitara dan Saraswati. Dewi Saraswati diyakini pula sebagai pemelihara kitab suci Weda. Hal ini diceritakan dalam Salya Parwa sebagai berikut. Di lembah sungai Saraswati, terdapat tujuh resi ahli Weda yaitu Resi Gautama, Bharadwaja, Wiswamitra, Yamadageni, Resi Wasistha, Kasiyapa dan Atri. Ketika musim kemarau datang, keadaan di lembah sungai Saraswati itu kering. Tumbuh-tumbuhan tidak dapat tumbuh dengan baik. Bahan makanan pun menjadi sulit didapat. Karena keadaan alam yang gersang seperti itu, Sapta Resi itupun pindah ke tempat lain. Sedangkan putra Dewi Saraswati yang bernama Saraswata masih setia bertempat tinggal di lembah sungai Saraswati. Karena kesetiaannya tinggal di tempat itu, Saraswata mendapat perlindungan dari ibunya. Saraswata tetap mendapat bahan makanan dari lembah sungai itu. Para Resi yang meninggalkan lembah sungai Saraswati, lambat laun tidak tahan pada keadaan yang dialaminya. Karena di tempatnya yang baru, mereka sulit juga mengubah nasib. Lagi pula para resi tadi telah lupa pada isi Weda. Padahal, memahami Weda merupakan suatu kewajiban yang mutlak sebagai identitas seorang resi. Gelar resinya akan tanpa makna kalau sampai lupa pada isi Weda.Keadaan itu menyebabkan sang Sapta Resi kembali ke lembah sungai Saraswati. Di lembah sungai Saraswati itulah para resi mohon kesediaan Dewi Saraswati membangkitkan kesadarannya untuk kembali dapat memahami isi Weda yang merupakan tugas pokoknya. Dewi Saraswati memberi anugrah apabila para resi bersedia menjadi siswanya. Para resi bertanya, apakah patut orang yang lebih tua berguru pada yang muda karena Dewi Saraswati masih sangat muda. Terhadap pertanyaan ini, Dewi Saraswati menjelaskan, seorang guru kerohanian tidaklah tergantung pada umurnya, kekayaannya, kebangsawanannya. Seorang guru kerohanian patut dilihat dari kemampuannya menguasai dan menyampaikan isi Weda. Kedewasaan spiritual Wedalah yang menjadi patokan utama. Penjelasan itu yang menyebabkan semua resi tetap berguru pada Dewi Saraswati. Setelah kejadian itu, datang lagi enam puluh ribu orang menghadap Dewi Saraswati agar diterima sebagai murid karena ingin mendalami lautan rohani Weda. Lewat para resi dan siswa tadi, Dewi Saraswati mengidupkan dan menyebarkan isi Veda ke seluruh pelosok dunia. Mitologi Dewi Saraswati dijelaskan pula dalam kitab Aiterya Brahmana. Dikisahkan seorang pendeta bernama Resi Kawasa keturunan Sudra Wangsa. Pada suatu hari, sang resi memimpin suatu upacara yajña. Karena resi itu keturunan Sudra Wangsa, maka sang resi dilarang memimpin upacara oleh pendeta dari Wangsa Brahmana. Sang resi Kawasa diusir dan dibuang ke padang pasir dengan tujuan agar ia mati di tengah-tengah padang pasir yang gersang itu. Setelah ia berada di tengah-tengah padang pasir, Resi Kawasa tetap melakukan pemujaan kepada Tuhan. Karena khusuknya pemujaan, turunlah Dewi Saraswati dengan penuh kasih sayang. Resi Kawasa pun diajarkan Weda mantra lengkap dengan Stuti dan Stotranya. Karena ketekunannya, semua pelajaran dari Dewi Saraswati dapat dikuasainya dengan baik. Kesucian dan kemampuan Resi Kawasa akhirnya jauh meningkat dari sebelumnya. Dewi Saraswati menganggap, kemampuan Resi Kawasa sudah luar biasa. Sang resi pun diizinkan kembali ke tempatnya oleh Dewi Saraswati. Setelah ia sampai di tempatnya semula, pendeta dari Wangsa Brahmana itu amat kagum atas keberhasilan Resi Kawasa. Resi Kawasa memang mampu menujukkan kemahirannya tentang Weda baik teori maupun praktek kehidupan sehari-hari berupa tingkah laku yang bersusila tinggi. Akibat keutamaannya itu, Resi Kawasa diakui semua umat dan semua resi sebagai brahmana pendeta sejati. Demikianlah kekuasaan Dewi Saraswati akan dapat memberikan peningkatan kesucian dan kehormatan kepada mereka yang memujanya dengan sungguh-sunguh.
Pada Hari Raya Saraswati Tentang bunga padma yang di Bali disebut bunga tunjung dipegang oleh salah satu tangan patung atau gambar Dewi Saraswati adalah memiliki lambang-lambang tersendiri. Di dalam Kakawin Saraswati disebutkan, bunga padma putih yang sedang kembang merupakan lambang jantung di Bhuana Alit. Padma merah ada dalam hati, padma biru ada dalam empedu. Budi suci sebagai aliran sungai Sindhu selalu meyakini kesuburan bunga-bunga padma yang berwarna-warni itu. Kecakapan bagaikan aliran sungai Narmada. Kemurnian hatiku sebagai sungai Gangga. Dewi Saraswati berstana di lidah dan Dewi Irawati berstana di mata. Demikianlah tujuan pemujaan Dewi Saraswati. Kalau tujuan pemujaan Dewi Saraswati dapat tercapai maka terhindarlah kita dari godaan penyakit, kelakuan jahat dan buruk. Semua perumpamaan itu adalah suatu metoda seni sastra agama untuk mendatang kehalusan budi. Agama mengarahkan hidup, ilmu pengetahuan memudahkan hidup, sedangkan seni menghaluskan hidup. Karena itulah, memuja Tuhan Yang Maha Esa menurut pandangan Hindu juga menggunakan aspek seni. Pemujaan kepada Dewi Saraswati tiada lain adalah memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam aspeknya sebagai sumber ilmu pengetahuan suci Weda. Menggapai kesucian Weda hendaknya juga melalui seni budaya yang indah. Khususnya yang didasarkan oleh keindahan seni itulah yang akan dapat dijadikan dasar untuk mencapai kesucian Sang Hyang weda